
dr Angela N Abidin, MARS, SpMK(K)
Dalam pandangan Gereja Katolik, kehamilan punya makna teologis. Kehamilan merupakan proses penciptaan Allah melalui Laki laki dan perempuan dalam tubuh seorang perempuan. Hendaknya setiap orang merawat dan menjaga anugerah kehidupan dari Allah. Bagi keluarga muda, kehamilan adalah suatu kebahagiaan. Namun pada situasi tertentu kehamilan menjadi hal yang menakutkan. Artikel kali ini adalah rangkuman pengalaman konselor dalam mendampingi kasus kehamilan yang tak diinginkan. Apa, bagaimana dan kemana mencari bantuan saat masa krisis kehamilan.
Apa yang terjadi sesaat setelah diketahui terjadinya KTD ?
Reproduksi atau prokreasi atau kehamilan adalah fungsi yang dianggap alamiah, terhormat dan bahkan sakral. Akan tetapi peristiwa ini bisa terjadi tanpa dikehendaki, baik karena terlalu awal, terlalu sering atau terjadi pada keadaan yang tidak tepat. Kehamilan yang bukan merupakan hasil keputusan dari pilihan bebas akan menjadi kemelut individu maupun drama keluarga yang pahit, terutama bila dialami oleh perempuan yang belum menikah. Individu, pasangan dan keluarganya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sangat dilematis dalam mencari jalan keluar. Mereka dihadapkan pada proses pengambilan keputusan yang sangat rumit, yang melibatkan dua jenis pertimbangan yaitu faktor internal berupa intensitas komitmen kedua pasangan untuk menjalin hubungan jangka panjang dalam perkawinan, sikap dan persepsi terhadap janin yang dikandung, kesiapan psikologis dan ekonomis; dan faktor eksternal berupa sikap dan penerimaan orang lain, nilai normatif dan etis dari lembaga keagamaan, dan kemungkinan perubahan hidup di masa depan.

Sumber : https://pregnancycrisishelpline.org.uk/pregnant/
Apa saja konsekuensi dari KTD ?
Perempuan yang belum menikah yang baru mengetahui dirinya hamil, tiba-tiba merasa ngeri akan sanksi sosial yang akan dihadapi, yaitu berupa pengucilan dan pelecehan sosial. Berbagai kecemasan tentang kelanjutan kehamilan yang dialaminya menjadi mimpi buruk baginya. Bagaimana sikap dan perasaan orangtuaku bila mengetahui keadaanku ? Bagaimana kalau pacarku tahu, apakah ia akan meninggalkanku ? Apa pendapat masyarakat nanti ? Bagaimana dengan sekolah/kuliahku ? Atau apakah aku harus berhenti bekerja ? Apa yang dikatakan teman-teman nanti ? Bagaimana status anakku nanti ? Seperti apa rasanya sakit melahirkan ? Bagaimana aku merawat anakku sedangkan aku sendiri belum mampu ? Apa yang harus aku lakukan, aborsi atau melanjutkan kehamilan ?
Kehamilan pranikah juga menimbulkan konseksuensi psikologis yang cukup berat. Perempuan muda yang mengalami KTD akan mengalami rasa rendah diri, malu dan rasa bersalah karena telah melakukan tindakan yang dianggap sebagai aib dan dosa oleh norma-norma agama dan masyarakat. Dalam beberapa kasus, remaja yang hamil akan nekat mengambil keputusan bunuh diri karena merasa sangat bersalah, helpless, depresi, bingung dan frustrasi.
Rasa panik, bingung dan frustrasi juga terjadi pada kehamilan tak diinginkan yang terjadi pada perempuan yang sudah menikah, dengan berbagai alasan misalnya: anak masih kecil, anak sudah banyak, penghasilan minim atau bahkan tidak ada, mau melanjutkan studi, dalam kontrak kerja dilarang hamil dll.
Ke mana mencari pertolongan?
Dalam keadaan yang merisaukan ini, mereka yang mengalami kehamilan tak diinginkan tidak tahu harus bercerita, bertanya, meminta nasehat atau mencurahkan isi hatinya kepada siapa. Bila menyampaikan pada pasangan, mereka juga sama panik dan bingungnya, dan sama-sama tidak tahu jalan keluarnya. Pada awalnya mereka tidak mau membuka diri pada orangtua, karena berbagai alasan: takut dimarahi dan diusir oleh orangtua, tidak mau membuat aib dan malu pada orangtua, orangtua sedang sakit, tidak mau membuat orangtua sedih, tidak mau merepotkan orangtua dll.
Orang pertama yang diberitahu tentang kehamilan tsb. rata-rata adalah pacar, dan reaksi awal dari kedua belah pihak pada umumnya adalah keinginan atau usaha untuk aborsi. Bila usaha aborsi gagal, barulah mereka berterus terang pada orangtua. Meskipun mereka sudah mengambil keputusan untuk aborsi, biasanya mereka masih mempunyai keraguan apakah keputusan yang mereka ambil sudah benar, dan mereka juga ingin mengetahui proses serta dampak dari aborsi. Karena siapapun pasti mempunyai hati nurani yang mencegah dan melarang untuk membunuh, dan juga siapapun akan merasa takut terhadap risiko-risiko aborsi. Namun dalam keadaan terjepit mereka tidak dapat berpikir dan melihat persoalan secara jernih, sehingga memutuskan bahwa aborsi adalah satu-satunya jalan keluar yang terbaik.

Sumber : https://www.lifetreeadoption.com/blog/unplanned-pregnancy-what-should-you-do/
Pada saat fase krisis inilah konselor profesional, ataupun relawan yang berperan sebagai konselor sebaya (peer counselor) atau siapapun dapat membantu perempuan atau pasangan ini untuk mencari dan menemukan jalan keluar yang terbaik. Konselor profesional dapat diperoleh melalui media cetak, internet atau media lain, sedangkan konselor sebaya bisa merupakan siapapun (teman sekantor, tetangga, sahabat, guru, atasan ataupun teman arisan). Biasanya orang ini merupakan orang yang dihormati, bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia dan bisa diajak bertukar pikiran.
Orang ini diharapkan tidak menghakimi, menyalahkan ataupun melecehkan. Dan juga sudah dipercaya untuk menjadi teman “curhat”- nya, sehingga harus menjaga kepercayaan ini sebaik-baiknya. Tidak selalu kita bisa mencarikan alternatif jalan keluar atau solusi untuk masalahnya, tetapi menjadi tempat berbagi untuk bebannya yang dirasa sangat berat sudah sangat melegakan. Meskipun ia belum menemukan jalan keluar, namun bila ia sudah memutuskan untuk tidak melakukan aborsi, maka peran konselor sebagian sudah terpenuhi. Artinya fase krisis pada pengambilan keputusan melanjutkan kehamilan atau tidak sudah terlampaui.
Bagaimana mendapatkan konselor ?
Ada beberapa individu atau lembaga yang melayani mereka yang mengalami KTD seperti FKPK (Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan), Pro-Life Indonesia dll. Pada era digital ini berbagai informasi dapat diperoleh melalui penjelajahan di internet, misalnya melalui Google search atau beberapa situs, atau aplikasi lain seperti Facebook, Instagram, You tube, Tiktok dll.

Bagaimana cara melakukan konseling ?
Konseling yang baik pasti harus bertatap muka, yang berarti konselor dan konseli secara fisik hadir di suatu tempat tertentu pada waktu yang telah disepakati. Namun hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan karena berbagai alasan. Oleh karena itu ada kemungkinan kita melakukan konseling melalui berbagai media, yaitu telpon, sms, email, WA dll. Konseling dengan cara ini hasilnya tidak seoptimal tatap muka, tetapi kadang-kadang perlu kita lakukan daripada mereka tidak mendapatkan bantuan sama sekali.
Di mana dilakukan konseling ?
Demikian juga dengan tempat, tidak perlu terpaku harus di tempat tertentu, tetapi bisa di mana saja disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka yang membutuhkan pertolongan. Secara teoritis tempat konseling adalah tempat yang mempunyai privasi dan nyaman, tidak ada hambatan (barrier) antara konselor dan konseli. Pada kenyataannya mungkin mereka meminta konselor datang di tempat di mana konseli merasa aman dan nyaman, karena biasanya ia merasa perlu bersembunyi dan tidak terlihat oleh orang banyak atau oleh orang yang dikenalnya..
Berapa kali perlu dilakukan konseling ?
Tergantung hasil perjumpaan pertama, konseling bisa dilakukan hanya sekali atau berkali-kali. Biasanya perjumpaan pertama konseli masih dalam keadaan panik, dan masih berada pada fase krisis. Artinya ia belum tahu apa yang akan dilakukan dengan kehamilannya. Apakah ia akan meneruskan atau menghentikan kehamilannya. Bila akan meneruskan, kendala apa yang dihadapi dan bagaimana jalan keluarnya ? Konselor bisa menyampaikan hal-hal yang bisa dibantu, misalnya shelter (tempat tinggal sementara, penitipan bayi dll). Bila kehamilan tidak diteruskan, berarti akan melakukan aborsi. Perlu disampaikan hal-hal seputar aborsi, baik secara moral, medis maupun hukum, maupun akibat-akibat aborsi. Namun jangan sekali-sekali melakukan penghakiman, memandang rendah atau menyalahkan konseli. Sebaiknya bersama-sama memandang masalah dengan hati dan pikiran yang jernih.
Kalau pada perjumpaan pertama konseli sudah tidak dalam keadaan krisis, sudah ada solusi atau jalan keluar yang baik, mungkin saja ia tidak memerlukan bantuan lagi, maka konseling dihentikan sampai di situ. Biasanya ia hanya memerlukan penguatan dan dukungan saja. Tetapi bila perjumpaan pertama belum ada pemecahan masalah, maka konseling dapat dilanjutkan lagi pada waktu dan tempat yang disepakati bersama. Bila konselor merasa ketika perjumpaan telah selesai namun konseli belum melewati fase krisisnya, artinya masih ada kemungkinan ia mengambil keputusan untuk aborsi, maka konselor bisa menghubungi melalui telpon, sms/WA atau email untuk memberi dukungan padanya sebelum jadwal pertemuan berikut tiba waktunya
REFERENSI
1.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?=2011. Yayah Kisbiyah, “Konsekuensi Psikologis dan Sosial-ekonomi Kehamilan Tak Dikehendaki pada Remaja”, Populasi Vol. 5 No. 2, 1994, hlm. 74-86, diunduh tanggal 26 November 2010.
2.Pengalaman pribadi beberapa konselor KTD