DR. CB. Kusmaryanto, SCJ

Sejak kapankah hidup manusia itu dimulai? Ada banyak pandangan tentang awal kehidupan manusia. Para pemikir kuno penganut paham dualisme(keyakinan bahwa jiwa dan badan merupakan 2 hal yang terpisah) seperti Plato (428 – 348 BC) beranggapan bahwa kehidupan manusia dimulai sejak jiwa masuk ke dalam tubuh. Dalam proses pembuahan, ada suatu masa dimana badan mengalami tanpa jiwa. Kemudian Aristoteles (384-322 BC) berpendapat bahwa masuknya jiwa kedalam badan terjadi pada usia janin 40 hari(untuk laki-laki) dan setelah 90 hari (untuk perempuan). Prinsip ini masih diyakini oleh banyak kalangan baik kelompok agama, budaya, politik dll. Tetapi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mengungkapkan hal yang berbeda. Bagaimana para ilmuwan berpendapat tentang awal kehidupan manusia? Tulisan ini akan mengungkapkan secara jelas bahwa prinsip dualisme pemikir kuno tidak lagi dapat dipertahankan.

Orang yang hidup,
berhak untuk terus hidup
sebab dia sudah hidup
dan mempunyai hidup
 
Vidyajyoti, New Delhi, Agustus 2016

 

Antropologi: Dari Platonisme Menuju ke Otonomi Manusia

Sepanjang sejarah manusia, manusia selalu dipandang dari pelbagai macam sudut dan dihasilkan pelbagai macam kesimpulan atau pendapat. Dalam sejarah, terbukti bahwa pendapat yang satu bisa bertentangan dengan pendapat yang lainnya. Hal ini wajar saja, mengingat manusia selalu berevolusi menuju kepada tingkat kesempurnaan pemahaman atas dirinya sendiri.
Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam antropologi manusia (filsafat manusia) adalah Plato (428 – 348 BC). Menurut Plato, manusia itu terdiri atas dua unsur: badan dan jiwa. Karena pendapatnya mengenai 2 unsur manusia itulah maka pandangannya dikenal sebagai dualisme platonisme. Badan manusia itu adalah kurungan jiwa yang bersifat fana sedangkan jiwa itu bersifat mulia dan baka. Kesempurnaan manusia bisa dicapai manakala manusia mampu melepaskan jiwanya dari kurungan badan sehingga hidup dalam keabadian. Di sinilah perlunya matiraga dalam arti sesungguhnya, yakni mematikan badan (keinginan badaniah manusiawi) supaya tercapailah keabadian dalam jiwa.

Pandangan Platonisme ini berdasarkan pengamatan empiris dimana manusia pada suatu ketika mati yang dimengerti sebagai perpisahan antara badan dan jiwa manusia. Badan manusia itu akhirnya ditinggalkan oleh jiwa dan menjadi badan tanpa jiwa (mayat). Kalau pada akhir hidupnya ada badan yang tanpa jiwa, maka pada awal hidup manusia juga dipikirkan demikian: pada awalnya, ada badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai ensoulment/animation yakni masuknya jiwa ke dalam badan menjadi sesuatu yang logis dan penting. Aristoteles (384-322 BC) berpendapat bahwa masuknya jiwa ke dalam badan terjadi pada umur 40 hari untuk laki-laki dan 90 hari untuk perempuan.[ 3 ] Dalam cara pandang ini, maka ada suatu masa dimana ada badan manusia yang tidak bernyawa. Banyak budaya, karya intelektual, agama, politik dan sebagainya yang dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles ini.

Pada jaman kita ini, dualisme platonisme (badan dan jiwa) ini sudah ditinggalkan banyak filsuf sebab tidak sesuai lagi dengan cara pandang modern. Pengalaman empiris manusia menunjukkan bahwa manusia hanya dipandang sebagai manusia ketika badan dan jiwa itu bersatu. Lebih lanjut bahwa hanya makluk hidup yang bisa bergerak, menjadi besar (membelah), memakai energy, terdapat kesatuan yang erat dalam unsur-unsurnya.[ 4] Oleh karena itu, manusia bukan lagi terdiri atas badan dan jiwa, tetapi terjadi kesatuan erat yang tak terpisahkan antara badan dan jiwa. Maka manusia bukan lagi terdiri atas badan dan jiwa, tetapi “jiwa yang membadan dan badan yang menjiwa”. Terdapat kesatuan yang erat antara badan dan jiwa dan keduanya tidak bisa dipisahkan.

Konsekuensi dari cara pandang ini ada beberapa hal:
1. Anggota badan manusia tidak boleh dipandang sebagai milikku, tetapi adalah bagian dari aku. Tangan bukanlah tanganku tetapi adalah bagian dari diriku, sehingga apa yang dibuat oleh tangan harus dipertanggungjawabkan oleh aku secara keseluruhan. Kalau tanganku menempeleng orang, maka bukan hanya tanganku yang harus bertanggung jawab tetapi dirikulah yang harus bertanggung jawab.
2. Tidak ada waktu di mana ada badan yang tanpa jiwa. Di mana ada manusia maka di situ ada badan yang menyatu dengan jiwa. Tidak ada lagi waktu yang terisolir dimana ada badan manusia tanpa jiwa. Di mana ada badan maka di situ juga ada jiwa.

Hal yang demikian ini ternyata didukung oleh pendapat para ahli embryologi modern yang berbicara mengenai embryo manusia. Keith L. Moore and T. V. N. Persaud mengatakan, “Zygote: This cell results from the union of an oocyte and a sperm during fertilization. A zygote is the beginning of a new human being (i.e., an embryo).”[ 5] Ronan O’Rahilly and Fabiola Muller menegaskan, “Although life is a continuous process, fertilization … is a critical landmark because, under ordinary circumstances, a new, genetically distinct human organism is formed when the chromosomes of the male and female pronuclei blend in the oocyte.”[ 6] Helen Pearson dalam artikelnya yang sangat terkenal dalam journal Nature bahkan mengatakan sesuatu yang lebih definitive lagi, “Your world was shaped in the first 24 hours after conception. Where your head and feet would sprout, and which side would form your back and which your belly, were being defined in the minutes and hours after sperm and egg united. Just five years ago, this statement would have been heresy.”[7] Masih ada banyak ahli yang lainnya yang menegaskan bahwa manusia itu hidup sejak selesainya proses pembuahan. [8]

Hidup manusia yang sejak pembuahan itu juga sesuai dengan sifat perkembangan embrio yang berkesinambungan. Tidak terjadi lompatan kualitas dalam perkembangan embryo manusia. Kesinambungan perkembangan ini menjadi penting seperti yang dikatakan oleh komisi Warnock dalam laporannya, “Sebagaimana sudah kita lihat bahwa waktu bagi berbagai macam tahap perkembangan itu sangatlah kritis, (akan tetapi) sekali proses itu sudah mulai, maka tidak ada lagi bagian khusus dari proses perkembangan itu yang lebih penting dari yang lainnya; semuanya adalah bagian dari sebuah proses yang berlangsung terus menerus, dan kecuali apabila masing-masing tahap itu terjadi secara normal, pada waktu yang tepat, dan dalam sekwensi yang tepat pula, maka perkembangan selanjutnya akan terhenti. Oleh karena itu, secara biologis, tidak ada satupun tahap perkembangan embryo, juga embryo di dalam tabung, yang bisa menjadi alasan untuk tidak melindungi embryo itu untuk tetap hidup.”[9]


Sifat kesinambungan ini juga digarisbawahi oleh Lee M. Silver, seorang profesor di Princeton University di bagian Department of Molecular Biology, Ecology and Evolutionary Biology and the Program in Neuroscience. Dia berkata, “Ketika fertilisasi itu sudah selesai, tidak ada lagi waktu yang terisolir dalam seluruh proses itu dimana anda dapat mengatakan bahwa embryo ini atau fetus ini berbeda secara substansial dari embryo ini beberapa menit yang lalu atau bahkan beberapa jam yang lalu.”[ 10 ]

Kalau dikatakan bahwa embryo itu hidup pada hari yang ke 14, ini berarti bahwa pada hari ke 13 dia adalah benda mati, lalu sekonyong-konyong terjadi lompatan kualitas perkembangan sehingga yang tadinya benda mati maka sekarang menjadi makluk hidup. Lompatan kualitas seperti ini tidak dikenal dalam perkembangan biologis embryo manusia. Maka pernyataan bahwa embryo itu hidup pada hari yang ke 13, tidak bisa dipertanggungjawabkan.(bersambung)

REFERENSI
1. Makalah ini pernah disampaikan dalam seminar “Current Clinical Practice Guidelines 2016”, Gedung BPPT, Jakarta, 3 September 2016.
2. DR. CB.Kusmaryanto, SCJ bergiat sebagai Dosen Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

3.Aristoteles, Generation of Animals I, 17 – 20. Lihat Jonathan Barnes (ed), Complete Works of Aristotle: The Revised Oxford Translation, Princeton University Press, Princeton, 1996, hlm. 1142 – 1143.
4.CB. Kusmaryanto, Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2016, halaman 3 – 4.
5.Keith L. Moore and T. V. N. Persaud, The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, Saunders, Philadelphia, 2003, halaman 2.
6.Ronan O’Rahilly and Fabiola Muller, Human Embryology & Teratology, Wiley-Liss, New York, 2001, halaman 31.
7.Helen Pearson, “Your Destiny from One Day”, in Nature 418(2002) 14 – 15.
8.Leon R. Kass, Life, Liberty and the Defense of Dignity: The Challenge for Bioethics, Encounter Book, San Francisco, 2002, hlm. 87 – 88. Ian Wilmut, Keith Campbell and Colin Tudge, The Second Creation: Dolly and the Age of Biological Control, Harvard University Press, Cambridge, 2000, halaman 83.
9.Mary Warnock, A Question of Life: The Warnock Report on Human Fertilization & Embryology, Basil Blackwell, Oxford, 1985, halaman 65.
10.Lee M. Silver, Remaking Eden: Cloning and Beyond in a Brave New World, Weidenfeld & Nicolson, London, 1998, halaman 48.

Advertisement