ru486oleh: P. William P. Saunders *

Baru-baru ini, surat-surat kabar dan siaran-siaran berita di televisi memberitakan obat RU-486, suatu obat aborsi. Saya mendengar sebagian orang mengatakan bahwa obat ini merupakan sesuatu yang baik sebab obat ini menghapuskan kebutuhan akan aborsi dan sungguh sekedar suatu bentuk kontrasepsi. Sebagai umat beriman Katolik, bagaimanakah pandangan kita terhadap obat ini?

~ seorang pembaca di Potomac Falls

RU-486 (dinamakan seturut perusahaan farmasi “Roussel Uclaf” dan diproduksi oleh Hoechst A.G.), juga disebut Mifepristone, pertama kali disetujui penggunaannya duabelas tahun yang lalu di Perancis dan obat ini tersedia luas di Eropa, yang terbaru di Spanyol, Rusia dan Israel. Para penyuplai obat-obatan memperkirakan lebih dari 600.000 perempuan mempergunakan RU-486. Di Amerika Serikat, Planned Parenthood secara aktif berusaha mendapatkan ijin penggunaan obat ini di Amerika Serikat. Guna memahami pandangan Gereja dalam masalah RU-486, pertama-tama kita perlu memahami perkembangan dari pil-pil kontrasepsi dan kemudian perbedaan antara pil kontrasepsi dan pil aborsi.

Sejak munculnya `pil’ pada tahun 1960, teknologi medis telah mengalami banyak kemajuan di bidang kontrasepsi. Secara teknis, pil-pil awal kontrasepsi adalah anovulent (= pil pencegah ovulasi) yang dibuat dari hormon-hormon sintetis dengan dosis yang sangat tinggi. Pil anovulent yang dikonsumsi dengan ditelan ini mencegah ovulasi dan dengan demikian mencegah kehamilan. Penelitian membuktikan bahwa pil-pil ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya ovulasi, namun efek sampingannya sungguh membahayakan, misalnya resiko tinggi terjangkit berbagai bentuk kanker, penyakit jantung dan penggumpalan darah.

Sebagai tanggapan, beberapa perusahaan farmasi mengembangkan suatu bentuk “obat kontrasepsi” dengan “laras ganda” yang dimaksudkan tidak hanya untuk mencegah ovulasi melainkan juga, jika itu gagal dan kehamilan terjadi, untuk mencegah implantasi dari kehidupan baru yang dikandung. Pada intinya, “obat-obat kontrasepsi” yang baru ini membuat endometrium (= selaput dalam rahim) memusuhi kehidupan baru yang dikandung dan mengeluarkannya secara paksa dari tubuh. Sebab itu, obat-obatan ini yang mencegah implantasi sesungguhnya bukanlah obat kontrasepsi, yang mencegah kehamilan, melainkan obat aborsi, yang membuang suatu kehidupan baru yang telah dikandung.

“The Ethical and Religious Directives for Catholic Health Facilities” (1971) menyatakan, “Aborsi, yang secara langsung dimaksudkan untuk mengakhiri kehamilan sebelum ia bertumbuh-kembang, tidak pernah diperkenankan pula yang secara langsung dimaksudkan untuk membinasakan suatu janin yang sedang bertumbuh-kembang. Setiap prosedur yang dampak langsungnya adalah mengakhiri kehamilan sebelum ia bertumbuh-kembang adalah suatu aborsi, yang, dalam konteks moralnya, mencakup interval antara saat pembuahan dan implantasi embrio” (No. 12). Sebab itu, obat yang berdaya aborsi ini dimaklumkan sebagai salah secara moral di bawah ajaran-ajaran mengenai aborsi.

Di sinilah letak masalah RU-486. Obat ini, yang adalah hormon sintetis, menghalangi hormon progesterone yang mempersiapkan rahim untuk menerima kehidupan baru yang dikandung. Akibatnya, kehidupan baru yang dikandung itu dihalau dari rahim. Para peneliti melaporkan tingkat keefektifan sebesar 96 persen apabila RU-486 dipergunakan bersamaan dengan obat lainnya, yakni Prostaglandin Misoprostol.

Patut diingat bahwa Konsili Vatican Kedua menegaskan, “kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindak kejahatan yang durhaka,” Gaudium et Spes, No. 51. “Declaratio de abortu procurato” (1974) diterbitkan sebagai tanggapan, setidaknya sebagian, atas keputusan Roe v. Wade, dengan menegaskan bahwa kehidupan adalah sakral sejak dari saat pembuahan dan bahwa tindakan yang secara langsung dimaksudkan untuk aborsi pada kahekatnya adalah suatu tindakan jahat.

Pandangan ini didasarkan pertama-tama pada ilmu pengetahuan mengenai pembuahan dan DNA, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula” (No. 12). Coba pikirkan – setiap kita adalah manusia yang sama yang dulu dikandung. Segala yang kemudian “ditambahkan” adalah makanan, waktu dan semoga juga banyak kasih. Kita adalah orang yang sama yang dulu dikandung, yang kemudian dilahirkan, yang tumbuh dewasa, dan yang kelak suatu hari nanti akan meninggalkan hidup ini menuju hidup abadi.

Kedua, kita yakin teguh bahwa Tuhan yang Mahakuasa Sendiri yang menciptakan dan menganugerahi tiap-tiap orang suatu jiwa yang abadi. Sementara sepanjang sejarah Gereja para teolog berdebat mengenai kapan tepatnya Tuhan menanamkan jiwa, Gereja telah senantiasa mengambil jalan moral yang paling aman oleh sebab kesakralan hidup. Dengan kemampuan pengetahuan medis untuk mengidentifikasi sperma dan sel telur serta fungsi masing-masing, dan memahami proses pembuahan dan DNA, pandangan moral yang paling aman adalah bahwa Tuhan menanamkan jiwa pada saat pembuahan. Lagi pula, “Dari sudut etika sudah pasti bahwa juga jika barangkali ada keragu-raguan apakah hasil pembuahan sudah pribadi manusia, obyektif adalah dosa berat menempuh risiko pembunuhan” (No. 13).

Sebab itu, tindakan dan dampak dari suatu obat yang berdaya aborsi seperti RU-486 tak berbeda dari suatu prosedur operasi aborsi dalam moralitasnya. Bahkan Washington Post dalam artikelnya “Abortion Drug Proposal Criticized” (7 Juni 2000) dengan terus terang menyatakan, “Mifepristone dirancang bagi para perempuan hingga usia kehamilan 49 hari. Obat ini mengakibatkan aborsi dengan mempersulit suatu telur yang telah dibuahi untuk menanamkan diri pada rahim; obat yang kedua, Prostaglandin Misoprostol, memicu kontraksi.” Semua orang tahu benar bahwa obat ini mengakibatkan aborsi, dan korbannya adalah anak yang tak pernah dilahirkan.

Kejahatan RU-486 teristimewa adalah tipu dayanya. Obat ini tampaknya menutupi tindakan amoral yang dilakukan: tak seorang pun harus menjalani suatu prosedur operasi dengan segala resikonya, bahkan meski dengan RU-486 ada resiko pendarahan dan henti jantung. Tak seorang pun melihat akibatnya. Tak seorang pun harus sungguh meminta nasihat siapapun mengenai mengakhiri suatu kehamilan; seorang perempuan dapat dengan mudah mengkonsumsi obat ini seperti obat telan lainnya. Tak seorang pun bahkan perlu berbicara mengenai aborsi – dan obat ini secara resmi diberi label obat pencegah kehamilan. Tak seorang pun perlu khawatir mengenai mengandung seorang anak; pil ini membereskan segalanya. Tak seorang dokter pun harus mengotori tangannya dengan darah oleh karena prosedur aborsi; yang perlu dilakukannya hanyalah menuliskan suatu resep. Namun demikian, sang ibu akan senantiasa tahu dan menanggung beban itu seorang diri.

Yesus bersabda, “Barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah” (Yoh 3:20-21). RU-486 mengintai di kegelapan budaya kematian.

* Fr. Saunders is pastor of Queen of Apostles Parish and dean of the Graduate School of Christendom College, both in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: RU-486: An Attempt to Hide the Truth” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2000 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA:www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Advertisement