HIDUPKATOLIK.com – Saya, 23 tahun, seorang karyawati, belum menikah. Setahun yang lalu, saya menggugurkan kandungan saya. Saya sadar, hal ini tidak ditoleransi Gereja. Bahkan tindakan itu tergolong dosa berat. Saya akui itu secara pribadi, tetapi saya belum berani mengaku dosa. Apakah pengasuh bisa memberikan kepada saya solusi agar saya bisa mengatasi rasa malu dan bersalah ini sehingga bisa kembali ke Gereja?
Feby, Surabaya
Yang terkasih Feby, semoga kamu dalam keadaan baik. Terima kasih atas sharing pengalamanmu. Dari situ kita dapat melihat, kamu cukup paham apa yang diajarkan Gereja tentang aborsi dan hati nuranimu masih terus mengingatkanmu, perbuatanmu ini salah.
Saudari Feby, Gereja mengajar, “Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahan.” (KGK 2270). Ajaran ini paling konsisten sejak awal Gereja, karena hendak membela kehidupan manusia sejak pembuahan sampai kematian alamiahnya. Inilah hak yang paling dasar dari hak asasi yang diakui dunia internasional. Jadi, Gereja tidak mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru, tetapi menggarisbawahi apa yang telah diyakini bersama.
Keith L. Moore dan T.V.N. Persaud dalam TheDeveloping Human: Clinically Oriented Embryology (2008) mengatakan, perkembangan hidup manusia dimulai sejak ovum dan sperma menyatu membentuk zigot. Inilah saat mulainya hidup manusia sebagai individu yang unik. Inilah yang dikatakan embriologi terbaru dan sama sekali tidak bertentangan dengan iman, bahkan mendukungnya. Memang di sana-sini tersebar argumentasi yang membingungkan kita.
Orang membuat definisi baru tentang dirinya sendiri. Belum lagi budaya seks bebas yang telah membelenggu masyarakat. Menyedihkan bukan? Maka, dengan kritis Josef Kardinal Ratzinger dalam Instruksi Donum Vitae (I.1) melontarkan pertanyaan, “Bagaimana bisa seorang individu manusia bukan pribadi manusia?” Ia menegaskan, embrio itu manusia. Jika kamu baca dalam KGK 2274 ada tertulis, “Embrio sejak pembuahan harus diperlakukan sebagai pribadi.” Jadi dapat disimpulkan, aborsi atau pengguguran setara dengan menghilangkan nyawa manusia baru yang lemah dan tak berdosa. Ini juga ditekankan Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Evangelium Vitae (57).
Namun, jangan putus asa dan jangan pergi menjauhi Bunda Gereja yang kudus. Ingatlah Sabda Tuhan yang selalu kita dengar dalam Masa Prapaskah, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju;
sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yes 1:18). Berbekal Sabda Tuhan ini, janganlah takut kembali ke Gereja. Yesus menantimu melalui Sakramen Tobat yang disediakan Gereja kapan saja kamu memohonnya. Tidak ada dosa yang tak terampuni, karena Allah itu Maharahim. Kuasa kasih-Nya jauh melampaui besarnya dosamu.
Bukti Allah masih mengasihimu adalah Ia terus menyuarakan lewat hati nuranimu, perbuatanmu itu salah dan Ia menimbulkan rasa gelisah di hatimu.
Di tengah kegelisahanmu, Ia mengajakmu kembali ke pangkuan-Nya seperti seorang bapa yang amat baik hati (Luk 15:11-22). Rasa bersalah dan sedih atas dosa memang diperlukan agar pertobatanmu menjadi semakin mendalam. Langkahkan kakimu ke ruang pengakuan. Mintalah ampun pada Allah dan pada anakmu yang telah kau gugurkan. Dosa bukan menjadi pokok utama, tapi kasih Allah. Di sana kamu akan menerima kasih itu.
Bagaimana selanjutnya setelah pengakuan? Jangan berhenti hanya menikmati kasih-Nya untuk dirimu sendiri, jadilah pewarta kasih-Nya! Langkah selanjutnya, berilah anakmu nama dan persembahkanlah intensi Ekaristi untuk ketenteraman arwahnya. Dan, berbekal pengalamanmu yang menyakitkan itu, Yohanes Paulus II juga mengajakmu untuk menjadi pembela yang paling handal hak hidup sekaligus sebagai promotor cara baru memandang kehidupan (EV 99).
Dr Benny Phang OCarm
Dosen STFT Widya Sasana, Malang – See more at: http://www.hidupkatolik.com/2012/09/18/aborsi#sthash.Llbo38NC.dpuf