Pada akhir abad ke-18, ada semacam kegelisahan sehubungan dengan pertumbuhan penduduk. Hal ini pertama kali diungkapkan oleh Thomas Robert Malthus (1766 – 1835) seorang profesor dari East India College di Inggris dan ahli dalam ilmu kependudukan. Ia mempelajari hubungan antara jumlah penduduk dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan kekayaan alam. Ia menerbitkan beberapa esai yang pertama terbit pada tahun 1798 dengan nama An Essay on the Principle of Population.
Menurut teori itu, apabila pertumbuhan penduduk dibiarkan tak terkendali, maka akan terjadi bahaya terjadinya kelebihan penduduk (over popiulation). Sebab setiap satu generasi pertumbuhan itu akan berlipat dua dan akan sampai pada suatu tahap di mana sumber alam tidak bisa lagi memberikan kebutuhan pangan dan papan bagi manusia itu. Oleh karena itu, dia menganjurkan supaya ada pembatasan jumlah kelahiran dengan dua cara. Cara yang pertama ialah dengan menunda perkawinan. Dengan menunda perkawinan maka nafsu seksual seseorang bisa dialihkan untuk bekerja lebih giat dan lebih produktif sehingga menghasilkan kemakmuran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, Malthus tidak setuju dengan kontrasepsi sebab penggunaan kontrasepsi ini hanya akan memuaskan seorang pribadi tetapi tidak ada faedahnya bagi masyarakat. Penyaluran hasrat seksual dengan kontrasepsi itu sia-sia belaka.
Cara kedua yang diusulkan oleh Malthus ialah memberikan uang dan pendidikan yang baik bagi orang miskin sebab yang mendorong orang untuk mempunyai anak sedikit ialah kebebasan, keamanan akan harta benda, pendidkan dan merasakan kenikmatan hidup. Oleh karena itu, kalau keluarga sudah naik tingkat kehidupannya maka secara otomatis keluarga-keluarga akan mengurangi jumlah anak mereka.
Sayang bahwa teori Malthus ini dalam perkembangan selanjutnya malah berseberangan dengan apa yang dia pikirkan. Untuk mengurangi jumlah penduduk maka dipaksakan penggunaan kontrasepsi dan juga aborsi. Di Inggris sendiri, pada tahun 1878 berdiri Malthusian League yang mengusulkan pembatasan jumlah penduduk dengan kontrasepsi. Mulai pada abad ke-19 praktek penggunaan kontrasepsi menyebar luas.
Akan tetapi di banyak negera Eropa dan Amerika ada undang-undang yang melarang penggunaan kontrasepsi. Bahkan di Amerika ada undang-undang untuk melarang pengiriman kontrasepsi melalui pos, melarang impor kontrasepsi dan melarang pendistri-busiannya secara umum. Pada tahun 1870-an, Anthony Comstock membuat undang-undang yang melarang pengiriman kondom dan informasi mengenai kondom lewat pos dengan alasan bahwa hal itu merangsang percabulan. Undang-undang ini dicabut pada tahun 1965. Orang yang berpengaruh sangat besar dalam liberalisasi kontrasepsi di Amerika adalam Margaret Sanger.
Dalam zaman modern
Selama berabad-abad tidak ada dispute yang berarti mengenai penolakan kontrasepsi oleh Gereja. Demikian juga, meskipun antara Gereja Katolik dan Gereja-gereja Reformasi berbeda pendapat tentang beberapa dogma, tetapi semua sepakat untuk menolak kontrasepsi.
Perpecahan pandangan Gereja-gereja mengenai kontrasepsi itu baru terjadi tahun 1930, ketika Gereja Anglikan mengizinkan dipakainya alat-alat kontrasepsi oleh pasangan suami istri dengan alasan-alasan berat. Naskah persetujuan gereja Anglikan itu tertuang dalam apa yang disebut sebagai Deklarasi Konferensi Lambeth 1930. Konferensi Lambeth adalah konperensi para uskup-uskup Anglikan yang tersebar di seluruh dunia untuk menyatakan kesatuannya dengan gereja Anglikan di London dan sebagai wahana untuk memikirkan masalah-masalah aktual. Ini adalah untuk pertama kali sebuah gereja menyatakan secara resmi bahwa kontrasepsi diperbolehkan. Namun, di dalam Gereja Katolik dokumen demi dokumen dengan tegas melarang kontrasepsi.
Sumber: DR CB Kusmaryanto, SCJ. KB dalam perspektif Gereja Katolik: Kontrasepsi. Permasalahan dan Tantangan Pastoral Pendampingan Keluarga di Zaman Modern. Pertemuan Nasional Komisi Keluarga KWI, 28-31 Agustus 2008.
Catatan: Dimuat dalam Buletin Perdhaki Triwulan IV 2008 No. 2 Th XXXVII