DR. CB. Kusmaryanto, SCJ

Pada bagian pertama tulisan ini dijelaskan bahwa terbentuknya kehidupan sudah ada sejak selesainya proses pembuahan, yakni saat sperma bertemu dengan sel telur. Penelitian para ahli telah menyatakan hal yang sama. Manusia bukan lagi terdiri atas badan dan jiwa, tetapi “jiwa yang membadan dan badan yang menjiwa”. Terdapat kesatuan yang erat antara badan dan jiwa dan keduanya tidak bisa dipisahkan. Bagian ini ingin memberikan pencerahan bahwa dengan adanya hidup maka penghormatan terhadap martabat manusia khususnya terhadap janin selayaknya dijunjung tinggi. 

Status embryo manusia

Dari data biologis di atas, oleh karena embryo itu sudah hidup sejak selesainya proses pembuahan, maka embryo juga mempunyai status hukum dan moral yang mirip dengan manusia walaupun tidak semuanya sama persis. Kalau manusia dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu, tentu saja embryo manusia tidak. Jangankan embryo yang masih dalam kandungan, anak kecil yang sudah lahir pun tidak sama dengan manusia dewasa.

Orang yang hidup,
berhak untuk terus hidup
sebab dia sudah hidup
dan mempunyai hidup
 
Vidyajyoti, New Delhi, Agustus 2016

Walaupun tidak sama dalam segala hal, akan tetapi ada satu hal yang selalu sama bagi semua manusia yang hidup, yakni penghormatan terhadap hak hidup manusia. Penghormatan akan hidup manusia harus dihormati dengan cara yang sama bagi semua manusia karena hak hidup adalah hak manusiawi (human rights) yang paling fundamental. Semua hak manusiawi (human rights) itu ada oleh karena adanya hidup. Hak kesehatan, hak pendidikan, hak beragama, hak menikah dsb HANYA bagi orang yang hidup. Begitu dia mati, maka dia tidak punya lagi. Jadi, hak untuk hidup itu menjadi yang paling dasar yang menjadikan adanya hak-hak manusiawi lainnya. Kalau tidak ada hak hidup, maka tidak ada hak manusiawi lainnya itu.

Lebih lanjut juga harus dikatakan bahwa dari hidup biologis manusiawi itu, maka mengalirlah hidup-hidup yang lain: hidup beragama, hidup politik hidup akademis, hidup sosial dsb. Dengan kata lain: dari hidup biologis itulah maka ada hidup-hidup lainnya. Dari hidup biologis itu maka mengalirlah hidup-hidup lainnya.

Adalah kodrat setiap makluk hidup bahwa makluk hidup akan senantiasa menjaga dan melangsungkan/meneruskan hidupnya. Tanaman akan selalu mencari sinar matahari supaya dia bisa terus hidup; binatang akan membela diri manakala ada serangan yang mengancam; manusia mempunyai gerak reflek yang menghindarkan manusia dari kehancuran. Sejak jaman purbakala, manusia sudah menemukan ramuan obat-obatan yang akan menyembuhkan penyakitnya. Secara instingtif, binatang juga akan membuat gerakan (menjilati) atau memakan sesuatu untuk menyembuhkan penyakitnya. Singkat kata: Semua makluk hidup pasti akan berusaha untuk menjaga hidupnya agar tidak hancur dan akan selalu menjaga kelangsungan hidupnya. Inilah hukum kodrat makluk hidup.

Jadi, orang boleh berdebat mengenai hak-hak manusiawi (human rights) tetapi jangan pernah memperdebatkan hak manusiawi yang paling dasar yakni hak untuk hidup. Begitu hak hidup dilanggar, maka musnahlah semuanya. Hak hidup adalah hak agar hidupnya dijaga, dilestarikan, dijauhkan dari hal-hal yang mengancamnya, agar hidup manusia bisa diteruskan. Oleh karena itu, orang yang hidup, maka dia berhak untuk terus hidup, karena dia sudah hidup dan mempunyai hidup.

Dengan selesainya Human Genome Project tahun 2004 yang lalu, maka kita tahu mapping gen dan fungsinya. Dari situ kita ketahui bahwa identitas biologis manusia ditentukan persis pada pembuahan, termasuk juga penyakit keturunan dan kelebihan genomiknya.

Aplikasi Klinis
A. Embryo sebagai pasien
Oleh karena embryo itu adalah manusia yang hidup, maka dia berhak untuk hidup sehat sesuai dengan situasinya dan berhak untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemerintah dengan pelbagai macam fasilitas kesehatannya juga sudah memberikan layanan kesehatan bagi ibu beserta anak yang ada dalam rahimnya. Hal ini tentu saja mempunyai konsekuensi babwa seorang pelayan kesehatan harus memperlakukan janin di rahim ibunya dengan penuh hormat dan compassion.
Ini berarti:

  • janin itu harus diperlakukan dengan respect dan compassion, mengingat mereka adalah makluk yang paling lemah dari antara yang lemah.
  • Janin dalam kandungan selayaknya diperlakukan sebagai pasien sebagaimana kita harus memperlakukan pasien.
  • Dalam relasi antara janin dengan ibunya, maka seorang pelayan kesehatan harus juga memperhitungkan kesejahteraan si janin dan bukan hanya si ibu.
  • Karena janin tidak bisa memberikan informed consent, maka si ibu bisa menjadi wali dalam hal terapi. Akan tetapi dalam riset memakai janin, maka hanya boleh melakukan riset memakai janin apabila hal itu diperlukan dalam kerangka terapi dan hanya untuk terapi janin yang bersangkutan dan bukan untuk janin lain ataupun tujuan lainnya. Latar belakangnya: Tidak semua orang rela berkurban untuk dijadikan subjek percobaan akan tetapi semua orang menginginkan kesehatan bagi badannya.

B. Teknologi baru dan janin

Sudah kita lihat bahwa hidup manusia itu dimulai sejak selesainya proses pembuahan. Itu berarti bahwa manusia itu sudah ada sejak saat itu. Secara klinis, ini berarti bahwa janin itu harus diperlakukan dengan respect dan compassion, mengingat mereka adalah makluk yang paling lemah dari antara yang lemah. Dia adalah manusia yang paling vulnerable dari antara semua manusia. Konsekuensinya: Pelayan kesehatan harus memihak dan membela mereka berhadapan dengan kekuatan besar yang akan menghancurkannya: aborsi langsung dengan pelbagai macam bentuk dan alasannya tidak pernah bisa diterima karena secara langsung menginginkan kematian janin; sebaliknya bisa terjadi bahwa janin terpaksa harus diterminasi oleh karena memang tidak bisa ladi dipertahankan, atau dalam konflik frontal antara hidup ibu dan janinnya sehingga kematian janin tidaklah dikehendaki (aborsi tidak langsung).

Aplikasi pelbagai macam ilmu dan teknologi dalam bidang klinis yang membahayakan nyawa janin harus dihentikan, sebab hidup adalah yang paling fundamental dan paling dasar dari segalanya. Aplikasi teknologi (misalnya prenatal diagnosis, embryonic stem cell, human cloning, genetic engineering dsb.) yang langsung tertuju kepada aborsi manakala hasil konsepsi itu terjadi di luar pengharapannya, jelas tidak bisa dibenarkan.

Baca juga bagian pertama tulisan ini pada tautan berikut; https://sayangihidup.org/2023/04/25/ethical-dilemma-on-early-stage-of-life-bagian-1/

REFERENSI

[1] Makalah ini pernah disampaikan dalam seminar “Current Clinical Practice Guidelines 2016”, Gedung BPPT, Jakarta, 3 September 2016.

[2] DR CB Kusmaryanto, SCJ bergiat sebagai Dosen Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.