
Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, kondisi darurat medis memerlukan syarat pembuktian dari tim ahli. Sedangkan untuk kasus pemerkosaan,aborsi bisa dilakukan untuk janin yang umurnya kurang dari 40 hari.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, misalnya, menuding PP itu bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa “negara harus melindungi anak-anak, termasuk yang masih dalam kandungan”. Sedangkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggap PP bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kode Etik Kedokteran. “Kami tidak mau dipenjara karena KUHP yang mengharamkan aborsi masih berlaku,” kata Ketua IDI, Zaenal Abidin.
Sikap Gereja Katolik pun jelas: menolak aborsi. Katekismus Gereja Katolik nomor 2270-2279 meringkas ajaran Gereja tentang aborsi itu: “Hidup manusia haruslah dihormati dan dilindungi secara absolut sejak dari saat pembuahan. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia haruslah diakui bahwa dia mempunyai hak sebagai seorang pribadi, di antaranya adalah hak untuk hidup, yang merupakan hak yang tidak bisa diganggu- gugat bagi orang yang tak bersalah.”
Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan selalu mengecam keras tindakan aborsi sebagai hal yang “mengerikan” karena merendahkan nilai kehidupan manusia. Saat berkunjung ke Korea Selatan bulan lalu, Bapa Suci mengunjungi makam bayi-bayi korban aborsi dan berdoa.
Kita, sebagai orang Katolik, pasti juga tidak sepakat dengan pelegalan aborsi itu. Apa langkah kita?
Redaksi
– See more at: http://www.hidupkatolik.com/2014/09/18/aborsi#sthash.QWdG285F.dpuf