Tulisan ini didasarkan pada wawancara dengan Theresa Burke, pendiri Rachel’s Vineyard Ministries, suatu pelayanan akhir minggu (retret) bagi penyembuhan pasca aborsi di Amerika Serikat, oleh Zenit News Agency, suatu kantor berita internasional pada 4 Maret 2006 di Pensilvania, AS. Kunjungi web-nya di http:www.zenit.org. Khusus tulisan ini adalah kiriman dari Romo Peter Stoll, OMI, Pastor Paroki Kalvari, Dekenat Bekasi, KAJ.
“Seorang wanita melewati tahap-tahap kejiwaan dalam berelasi dengan anak dalam kandungannya selama kehamilan berlangsung – faktor ini seringkali terluput dalam debat mengenai aborsi.” Demikian kata Theresa Burke. Seluruh wawancara ini terdiri dari 2 bagian. Dalam Bagian 1 Burke mendiskusikan relasi antara seorang wanita dengan anaknya yang belum terlahir, dan kaitan antara aborsi dan depresi.
Perkembangan relasi wanita dengan anak dalam kandungannya.
Kehamilan bukanlah penyakit. Ini adalah kejadian alamiah dalam setiap generasi yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Tubuh seorang wanita secara naluriah terprogram untuk memberi dan mempertahankan kehidupan. Hubungan psikologis antara ibu dengan bayinya yang belum terlahir dipicu oleh perubahan-perubahan jasmaniah dan hormonal, namun juga oleh sistem pendukung dan kebudayaan wanita tersebut.
Perasaan-perasaan yang berlawanan adalah biasa. Si ibu mengagumi fakta bahwa tubuhnya mampu mendatangkan kehidupan, tetapi ia juga dibanjiri dengan tanggung jawab untuk memelihara seorang manusia lain. Sementara kehamilan berlanjut, si ibu dapat mempunyai baik perasaan positif maupun negatif mengenai perubahan bentuk tubuhnya. Tiga bulan terakhir dapat menjadi kekhawatiran mengenai kelahiran itu, memikirkan kesehatan bayinya, khawatir mengenai bagaimana pasangannya akan menyesuaikan diri dengan anggota baru dalam keluarga, maupun berpikir mengenai pertimbangan ekonomi.
Pada saat yang bersamaan wanita itu merasakan sukacita dan menanti-nanti kelahiran bayinya mendatang serta awal tahap kehidupan dirinya yang sama sekali baru. Pada saat kelahiran, ketika anak itu diletakkan di dalam lengan ibunya, misteri, keajaiban, sukacita, semua memuncak menjadi proses ikatan yg kuat selagi si ibu dengan gembira menyambut kehidupan baru yang berharga ke dalam dunia.
Dapat dikatakan bahwa seorang wanita juga membutuhkan sembilan bulan penuh masa kehamilan untuk mencapai proses emosional dan psikologis yang mengiringi keibuannya. Ibu dan anak-anak secara bersama-sama mengalami transformasi perkembangan yang dramatis dan cepat.
Faktor-faktor di luar wanita yang mendorongnya aborsi.
Bila kita memeriksa di balik pilihan-pilihan, kita dapat bertanya lebih jujur, ‘pilihan siapakah itu?’ Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam 95% dari semua kasus partner pria memegang peran utama dalam keputusan aborsi. Studi lain seperti laporan bulan Juli 2005 di Elliot Institute’s Post Abortion Review mengungkapkan bahwa sampai 80% wanita ingin melahirkan bila didukung.Satpam dari klinik aborsi di Massachusetts menyatakan bahwa wanita pada umumnya diancam atau dilecehkan oleh pria yang membawa mereka ke klinik. Seringkali aborsi adalah pilihan orang lain dalam kehidupannya. Kita mendengar banyak wanita mengatakan, bagi mereka tidak ada pilihan lain kecuali aborsi.
Sesungguhnya pembunuhan adalah penyebab kematian no. 1 pada wanita hamil. Laki-laki yang telah dituduh sebagai pembunuh pasangannya yang hamil menyatakan bahwa motivasi utama adalah tidak mau membiayai anak tersebut. Statistik nasional yang merisaukan ini menunjukkan dengan jelas adanya paksaan sangat besar yang mengarahkan seorang wanita untuk melakukan aborsi yang tidak diinginkannya.
Tanpa dukungan tetap dari ayah si bayi atau keluarganya, banyak ibu merasa takut bahwa mereka tidak mempunyai sumber untuk memelihara anaknya. Masalah nyata yang dihadapi adalah angka kemiskinan pada ortu tunggal dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.
Pada terlalu banyak kasus, dibalik setiap wanita yang melakukan aborsi terdapat seseorang yang amat sangat terkait dengan “pilihannya” dan seringkali memanipulasi bujukannya. Mereka mungkin adalah ortu wanita belia yang mengancamnya untuk tidak lagi memberikan kasihnya atau pengusiran bila ia tidak menggugurkan. Atau petugas kesehatan sekolah /kesehatan jiwa yang memanfaatkan kekuatan posisinya untuk menjadikan aborsi tampak rasional, dewasa, dan keputusan satu-satunya yang masuk akal pada keadaannya saat itu.
Menjadi lebih problematis bila tampak tanda masalah kesehatan pada bayi yang belum terlahir. Pada kasus-kasus seperti ini tekanan untuk melalukan aborsi lebih kuat. Wanita-wanita yang dihadapkan dengan cacat janin berat, 95 % di antara mereka yang sebelumnya telah berada dalam hospis perinatal akan memilihnya sebagai dukungan yang lebih manusiawi dan lebih diinginkan secara emosional. Ini adalah untuk menghindarkan kesedihan lebih rumit disebabkan aborsi pada kehamilan yang lebih tua, yang merupakan pengalaman mengerikan bagi ibu maupun bayinya.
Hubungan kejiwaan bila menggugurkan & keguguran
Bila seorang ibu sekonyong-konyong dan secara kasar dipisahkan dari anaknya akan terjadi trauma alamiah. Ia telah mengalami peristiwa kematian yang tidak alamiah. Dalam banyak kasus ia telah melanggar etika moral dan nalurinya yang alamiah. Terjadi pukulan yang menghancurkan citra dirinya sebagai seorang ‘ibu’ yang memelihara, melindungi dan mempertahankan hidup.
Saya telah mendampingi ribuan wanita yang kehidupannya remuk oleh trauma karena aborsi sebab mereka mengalaminya sebagai proses yang kejam dan merendahkan. Mereka mengalami kesedihan, kesusahan, sakit hati, rasa bersalah, malu dan kemarahan. Mereka belajar menumpulkan dirinya dengan alkohol dan madat /napza, atau mengatasi traumanya dengan mengulanginya. Beberapa wanita lain memainkan ulang kepedihan akibat aborsi dengan berganti-ganti pasangan dan mengulang aborsi, terperangkap dalam siklus menyakitkan karena ditinggalkan dan ditolak.
Lainnya mengatasi perasaan mereka dengan kelainan pola makan, serangan panik, depresi mental, kemarahan dan pikiran untuk bunuh diri. Beberapa menderita kerusakan fisik dan alat reproduksi secara permanen yang berakibat mereka tidak bias lagi mempunyai anak di kemudian hari. Aborsi adalah pengalaman kematian. Yang menghilangkan potensi kemanusiaan, relasi, tanggung jawab, ikatan keibuan, dan rasa tak bersalah. Kehilangan seperti ini jarang terjadi tanpa konflik dan ambivalensi.
Terlalu sederhana bila berpendapat bahwa dengan melewatinya berarti bebas dari komplikasi. Dalam buku saya Forbidden Grief : The Unspoken Pain of Abortion, bersama David C. Reardon, kami mengundang pembaca memasuki pengalaman kemanusiaan pada inti yang terdalam, suatu tempat di mana debat tentang aborsi jarang menembus. Ketika polemik, pawai-pawai, politik kebebasan dan hak telah berlalu, ada aspek emosional dari aborsi yang menantang kata-kata.
Penderitaan psikologis dan spiritual karena aborsi didiamkan oleh masyarakat, diabaikan oleh media massa, ditolak oleh para ahli kesehatan jiwa, dan dicemooh oleh gerakan wanita. Trauma pasca aborsi sangatlah serius dan menghancurkan tanpa selebriti yang menjadi juru bicara, tidak menjadi cerita televisi, dan tiada panggung untuk membicarakan pengakuan dosa.
Aborsi menyentuh tiga isu utama dalam konsep diri seorang wanita : seksualitasnya, moralitas dan identitas keibuan. Termasuk di sini hilangnya anak, atau paling tidak hilangnya kesempatan mendapat anak. Pada setiap kejadian, kehilangan ini harus dihadapi, diproses dan disesali.
Pada keguguran, si ibu juga menderita kehilangan anak. Bedanya adalah pada taraf rasa bersalah dan malu yang dialami wanita yang dengan sengaja dan sadar memutuskan untuk mengakhiri kehidupan; dibandingkan dengan keguguran, yang berlangsung karena sebab-sebab alamiah. Pada aborsi, kehilangannya bersifat rahasia. Tiada dukungan sosial atau penghiburan dari teman-teman atau keluarga.
Penting untuk dicatat bahwa juga terdapat peningkatan keguguran sesudah aborsi. Bila seorang wanita kehilangan anak yang dikehendakinya sesudah pengalaman aborsi, mereka sering kali melaporkan kesedihan yang rumit dan depresi karena mereka percaya keguguran tersebut adalah “hukuman Tuhan.”
[img_assist|nid=13|desc=|link=none|align=left|width=19|height=22]Aborsi dan depresi (Bagian 2)
Wawancara dengan Theresa Burke dari Rachel’s Vineyard
Depresi karena aborsi seringkali merupakan mata rantai terselubung dan terabaikan yang perlu diketahui, kata seorang konselor yang berhubungan dengan trauma pasca aborsi. Pada bagian 2 wawancara dengan Zenit, Theresa Burke, konselor dan pendiri Rachel’s Vineyard Ministries menjelaskan bahwa depresi karena aborsi adalah akibat wajar /alamiah yang bisa meledak bertahun-tahun mendatang. Rachel’s Vineyard menyelenggarakan retret akhir minggu bagi mereka yang berjuang karena penderitaan emosional dan spiritual pasca aborsi.
Resiko depresi yang muncul dari rasa bersalah karena aborsi
Karena aborsi adalah legal (di Amerika Serikat – pen), maka diandaikan aman, lebih jauh secara umum dianggap sebagai “hak” wanita. Hak atau hak istimewa (privilese) mestinya membebaskan wanita dari beban kehamilan yang tak dikehendakinya. Seharusnya memberi mereka rasa lega, bukan duka dan depresi. Menjadi suatu persoalan besar bila wanita malahan tersiksa karena reaksi wajar akibat kehilangan. Mereka tidak mengerti apa yang salah pada mereka.
Banyak wanita berobat karena depresi, kemarahan, atau kecanduan. Tetapi mereka sebenarnya tidak mengerti akar dari penyakitnya. Dalam banyak kasus mereka diberi pengobatan dan didiagnosis, tetapi tidak pernah dibimbing ke arah penyembuhan dan pemulihan. Kenangan-kenangan dan perasaan-perasaan yang tak terselesaikan karena aborsi menjadi sumber stres yang dapat meledak bertahun-tahun kemudian dengan cara-cara yang tidak terduga. Emosi-emosi yang tidak terselesaikan menuntut perhatian dari dirinya cepat atau lambat. Seringkali karena munculnya gangguan-gangguan emosional atau perilaku yang telah makin berkembang.
Prof. David Fergusson, seorang peneliti pada Christchurch School of Medicine di Selandia Baru ingin membuktikan bahwa aborsi tidak mempunyai dampak psikologis. Ia menjadi heran karena menemukan bahwa wanita-wanita yang pernah mengaborsi 11/2 kali lebih banyak menderita gangguan jiwa dan 2-3 kali lebih sering kecanduan alkohol dan atau napza /madat. Fergusson mengikuti 500 wanita sejak lahir hingga usia 25 tahun. ‘Mereka yang mengaborsi menunjukkan peningkatan pada masalah kesehatan jiwa, termasuk depresi (naik 46%), kemarahan, perilaku bunuh diri, penyalahgunaan napza.” Demikian terbaca dalam penelitian yang diterbitkan pada Journal of Child Psychiatry and Psychology.
Sesungguhnya aborsi bertanggung jawab atas serentetan masalah besar yang serius:
n 160% bertambahnya angka bunuh diri di Amerika Serikat menurut Archives of Women’s Mental Health pada tahun 2001;
n 225% bertambahnya angka bunuh diri di Inggris menurut British Medical Journal pada tahun 1997
n 546% angka bunuh diri bertambah di Finlandia, menurut Acta Obstetrica et Gynecologica Scandinavia pada tahun 1997
Seluruhnya kenaikan rata-rata risiko bunuh diri pada tiga penelitian ini adalah sebesar 310 %. Angka bunuh diri yang tinggi setelah aborsi dengan jelas menyangkal mitos bahwa menghentikan kehamilan adalah lebih aman daripada melahirkan anak.
Studi terbaik berdasar pencatatan sehubungan dengan angka rawat inap psikiatri sesudah aborsi menyatakan bahwa selama 4 tahun sesudah akhir kehamilannya, seorang wanita yang mengaborsi 2-4 kali lebih sering masuk untuk perawatan inap psikiatri daripada wanita yang mengandung bayinya sampai lahir. Hasil studi lain berdasar pencatatan menyatakan bahwa bahkan 4 tahun pasca-aborsi, angka rawat inap di bagian psikiatri rumahsakit tetap 67% lebih tinggi dibandingkan wanita yang tidak mengaborsi.
Wanita yang mengaborsi didiagnosis dengan reaksi penyesuaian (adjustment reactions), psikosis depresif dan neurosis dan gangguan bipolar, menurut Archives of Women Mental Health pada tahun 2001. Risiko depresi postpartum dan psikosis ketika kelahiran yang kemudian diinginkan juga dikaitkan dengan aborsi yang dilakukan sebelumnya. Rata-rata 8 tahun setelah aborsi, wanita yang menikah tampaknya 138% lebih berisiko untuk depresi dibanding dengan wanita yang mengandung anak pertama yang tak dikehendaki sampai lahir. Ini menurut British Medical Journal 19 Januari 2002.
Dalam kategori penyalahgunaan madat dan alkohol, kita melihat banyak wanita mencoba mengatasi konflik batin dan kesedihan dengan 4,5 kali berisiko lebih besar untuk penyalahgunaan madat pasca aborsi. Ini pun hanya didasarkan pada mereka yang melaporkan penyalahgunaan napza. Ingatlah mereka semua yang berpendapat bahwa minum 8 gelas anggur setiap malam hanya merupakan suatu cara untuk menjadi lega (“unwind”). Aspek ini dilaporkan dalam The American Journal of Drug and Alcohol Abuse pada tahun 2000.
Hasil studi internasional pertama berjangka panjang dan berkelanjutan yang dipimpin oleh Dr. Vincent Rue mengungkapkan banyaknya kejadian penyakit-penyakit stres pasca-trauma. Statistik yang dikumpulkan di Amerika menyatakan sebagai berikut:
– 55% dari mereka yang mengaborsi mengalami mimpi buruk dan dihantui aborsi;
– 73% menggambarkan kilas balik (flashback);
– 58% wanita melaporkan berpikiran bunuh diri yang mereka hubungkan secara langsung dengan aborsi yang mereka lakukan;
– 68% menyatakan mereka merasa buruk tentang dirinya;
– 79% melaporkan rasa bersalah tanpa mampu memaafkan diri sendiri;
– 63% mengalami ketakutan akan kehamilan mendatang dan menjadi orangtua;
– 49% mengalami kesulitan bila berdekatan dengan bayi-bayi;
– 67% menggambarkan dirinya ”tumpul emosinya”.
Kupasan yang mendalam dari banyak studi lain dan pengakuan klinis tentunya, menunjukkan bahwa bagi banyak wanita awal dari kelainan disfungsi seksual dan pola makan, bertambahnya merokok, panik dan kemarahan yang tak terarah, dan kecanduan hubungan yang melampaui batas menjadi cara mengatasi masalah yang didapatnya sesudah pengalaman aborsi.
Alasan ilmiah atau politis untuk tidak ingin mempelajari kemungkinan adanya hubungan antara aborsi dan depresi yang menghalangi dilakukannya penelitian
Sebagai masyarakat kita tahu bagaimana berdebat mengenai aborsi sebagai isu politik, tetapi kita tidak tahu bagaimana membicarakan itu di tingkat pribadi dan secara intim. Tidak ada norma sosial untuk menghadapi aborsi. Maka kita semua mencoba mengabaikannya. Salah satu alasan mengapa kita tidak mau bicara mengenai kesedihan seorang wanita dan pria yang telah mengaborsi adalah karena kita sebagai masyarakat sudah sangat disusahkan oleh isu tentang aborsi. Sementara mayoritas terbesar percaya bahwa aborsi seharusnya sah dalam situasi tertentu, kebanyakan dari mereka juga masih berada dalam kesulitan moral disebabkan aborsi.
Menurut suatu angket /pol, 77% dari masyarakat percaya bahwa aborsi adalah diambilnya hidup manusia, di antaranya 495 menyamakannya dengan pembunuhan. Hanya 16% mengklaim bahwa aborsi hanya ”prosedur pembedahan untuk mengangkat jaringan tubuh manusia”. Bahkan 1/3 dari mereka yang menyatakan dirinya sebagai “pro-choice” paling keras tetap mengakui bahwa aborsi adalah diambilnya kehidupan manusia. Ini dilaporkan oleh James Davidson Hunter dalam bukunya tahun 1994 “Before the Shooting Begins: Searching for Democracy in America’s Cultural War.” Penemuan ini memberi kesan bahwa kebanyakan orang Amerika “menahan” menyatakan keyakinan moral mereka tentang aborsi demi menghormati “hak wanita untuk memilih”. Sebagai masyarakat kami telah memilih untuk menoleransi kematian dari anak-anak yang belum dilahirkan demi memperbaiki kehidupan wanita.
Kompromi moral ini terganggu ketika wanita mengeluh mengenai kehancuran hatinya sesudah aborsi. Mereka menyebabkan para pendengarnya merasa tidak nyaman dan bingung. Depresi pasca aborsi memaksa kita memandang bukan hanya kepedihan individu melainkan juga kemarahan masyarakat. Ini merupakan isu yang rumit dan menyusahkan. Kebanyakan dari kita tidak mau melihat terlalu mendalam.
Pembela pro-choice kerap kali bimbang untuk mengakui realitas kepedihan pasca aborsi karena mereka takut hal ini dapat menggerogoti argumentasi politis untuk melegalkan aborsi dengan satu dan lain cara. Sebaliknya, kebanyakan konselor aborsi dengan mengabaikan segala bukti akan mengatakan kepada seorang wanita bahwa reaksi psikologis terhadap aborsi tidaklah ada atau jarang. Segala sesuatu yang dapat membangkitkan ketidaknyamanan dan ketidakenakan dihindari. Mereka takut fakta-fakta tersebut akan “mempengaruhi dia untuk menahan persetujuannya pada aborsi.”
Pada intinya pilihan itu dibuat baginya untuk melindungi dia dari informasi yang mungkin membelokkan pendapatnya. Kolusi dari ketidaktahuan dan penyangkalan melanggengkan pelecehan dan penolakan terhadap wanita, memperlancar potensi terjadinya trauma yang dalam dan membekas.
Bila mengetahui kemungkinan depresi pasca aborsi apakah seorang wanita akan mempertimbangkan aborsi yang akan dijalaninya?
Diharapkan demikian. Wanita berhak mengetahui risiko yang mereka hadapi ketika memilih keputusan untuk melakukan aborsi. Obat atau prosedur medis yang kita “pilih” diharuskan oleh hukum untuk diketahui dan disetujui sebelumnya. Berarti kita mengetahui apa itu, bagaimana prosedurnya dan apa risiko jangka pendek maupun risiko jangka panjang. Ini adalah informasi yang kritis.
Dari segi statistik yang menggelisahkan mengenai risiko kesehatan jiwa, bertambahnya risiko kanker payudara, dst, jelaslah bahwa pembatasan dan pengaturan perlu untuk melindungi kesehatan reproduksi dan jiwa wanita. Lebih penting lagi, saya percaya bahwa wanita dan pria yang mengalami kehilangan anak karena diaborsi perlu mengetahui bahwa ada harapan dan penyembuhan. Mereka perlu mengetahui bahwa mereka tidak sendirian.
Pada tahun 1989 diskusi panel para ahli yang diselenggarakan oleh American Psychological Association (APA) menyimpulkan secara bulat bahwa aborsi yang legal (sah, sesuai undang-undang) “tidak menimbulkan kerugian psikologis bagi kebanyakan wanita yang menjalani prosedur aborsi.” Panel mencatat, kalau terdapat banyak reaksi emosional yang berat, maka akan timbul epidemi para wanita yang mencari penyembuhan psikologis. Panel menyatakan bahwa tiada bukti terdapatnya epidemi seperti ini. Sejak tahun 1989 tidak ada perubahan berarti pada pandangan ini.
Jelaslah mereka tidak mengikuti pertumbuhan Rachel’s Vineyards Ministries. Pada tahun 2006 organisasi kami akan mengadakan 450 retret akhir minggu untuk penyembuhan pasca aborsi. Setiap retret akan terdiri dari 12-25 peserta. Berarti 5.400- 11.250 orang akan datang untuk pengobatan di tahun ini. Pelayanan kami tumbuh 40% setiap tahun. Dalam hanya 7 tahun ribuan pria dan wanita telah datang mohon bantuan karena Rachel’s Vineyard telah tersebar ke Afrika, Taiwan, Rusia, Inggris, Irlandia, Skotlandia, Spanyol, Portugal, Amerika Selatan, Kanada dan seluruh Amerika Serikat.
Masih terdapat ratusan pelayanan pasca-aborsi lain tumbuh di mana-mana. Maka terlepas dari apa yang dipikirkan APA, kami yang berada dalam pelayanan ini mengetahui keadaan yang sebenarnya. Bahwa terjadi epidemi yang diabaikan tanpa malu-malu, salah didiagnosis dan tidak diobati. *** els
Catatan :
Dimuat dalam Buletin Perdhaki no. 2 Triwulan IV 2006 dan no.3 Triwulan I 2007
Advertisement